MEDIASAMARINDA.com – Burung prasejarah yang sempat dikabarkan punah pada seabad lalu kini kembali dilepaskan ke alam liar. Melalui upaya konservasi selama bertahun-tahun, Burung Takahe asal Selandia Baru ini akhirnya berevolusi dengan populasi yang meningkat setiap tahunnya.
Apa itu Burung Takahe?
Burung Takahe alias pemilik nama latin Porphyrio hochstetteri adalah spesies Aves yang sudah mendiami kawasan Selandia Baru sejak berabad-abad yang lalu. Keberadaan burung prasejarah ini bahkan terdeteksi hingga di zaman Pleistosen melalui sisa-sisa fosil yang ditemukannya pada tahun 1898.
Hingga di tahun 1948 tepatnya pada tanggal 20 November, seorang dokter bernama Geoffrey Orbell kembali menemukan Burung Takahe di daerah dekat Danau Te Anau di Pegunungan Murchison, Pulau Selatan. Sejak saat itu, Pemerintah Selandia Baru melalui Departemen Konservasi [DOC] kemudian berupaya untuk melakukan konservasi melalui berbagai metode untuk memulihkan kembali burung prasejarah ini.
Berdasarkan catatan, Burung Takahe memiliki ciri-ciri berwarna berwarna biru-kehijauan atau ungu-kebiruan. Selain itu, bentuk tubuhnya pun nampak nyaris bulat sempurna dengan ditopang oleh dua kaki berwarna merah cerah.
Meskipun masuk ke dalam kelas Aves, Burung Takahe dinyatakan tidak bisa terbang dan berevolusi tanpa mamalia darat yang mengelilinginya. Selain itu, Burung Takahe juga memiliki paruh yang besar dengan suara berisik dan keras. Burung prasejarah ini juga memiliki tinggi rata-rata sekitar 50 cm dan berat sekitar 3 kilogram.
“Tampaknya hampir seperti zaman prasejarah. Dari depan, tubuh mereka terlihat hampir bulat sempurna, ditambah dengan bulu berwarna biru kehijauan, mereka tampak seperti Planet Bumi kecil yang berdiri diatas dua kaki panjang berwarna merah cerah,” kata Tūmai Cassidy, dari Suku Ngāi Tahu, yang mendiami habitat burung takahe, dikutip dari Greek Reporter.
18 Burung Prasejarah Spesies Takahe Dilepas ke Alam Liar
Warga Selandia Baru nampaknya tengah merayakan kebahagiaan tidak terduga lantaran dilepaskannya 18 ekor Burung Takahe ke alam liar oleh DOC. Kemeriahan ini menjadi kebanggan tersendiri bagi Aotearoa (Selandia Baru), khususnya orang-orang Māori yang berada di tanah Ngāi Tahu.
Bagi mereka, pelepasan burung prasejarah ini merupakan momentum sakral, khususnya bagi para leluhur. Pasalnya, orang-orang zaman dulu disebutkan bahwa mereka kerap mengumpulkan bulu-bulu Takahe guna dianyam dan dijadikan jubah.
Selain itu, pelepasan Takahe juga menjadi angin segar dalam mengembalikan populasi spesies burung tersebut di habitat asalnya. Meskipun dirasa cukup sulit untuk beradaptasi, namun salah satu pekerja DOC, Deidre Vercoe mengaku optimis akan waktu dan dedikasi yang telah dicurahkan dalam misi pemeliharaan ini.
Lebih lanjut, Vercoe mengungkapkan bahwa pihaknya telah memasang sejumlah perangkap bagi hewan lain yang berpotensi mengancam kelangsungan hidup para Takahe. Cara ini dilakukan lantaran meminimalisir penyebab kepunahan burung prasejarah ini, yang mana dulunya disebabkan oleh adanya introduksi mamalia lain seperti musang, kucing, ferret, dan tikus oleh para pemukim Eropa.
“Pemasangan perangkap untuk musang, ferret, dan kucing liar telah mengurangi jumlah pemangsa,” katanya.
Dimana Kita Dapat Melihat Keindahan Burung Takahe?
Selain melakukan upaya pelepasan Burung Takahe, DOC tetap tidak mengesampingkan perlindungan di zona aman bagi keberlangsungan hidup burung prasejarah ini. Salah satu langkah yang diambilnya yakni dengan memperkenalkan burung ini ke pulau-pulau terlindung dan taman nasional terpilih.
Sejumlah pulau tanpa predator pun dipilih DOC sebagai lokasi yang tepat dalam mengembangbiakkan burung rawa ini, seperti Tiritiri Matangi , Kapiti , Maud , Mana dan Motutapu.
Selain itu, kecantikan Takahe juga dapat dinikmati secara umum di sejumlah taman nasional pilihan diantaranya pusat satwa liar Nasional Te Anau dan Pukaha / Mount Bruce, Proyek Restorasi Maungatautari (2006), Suaka Margasatwa Willowbank (2010), Zealandia, Wellington (2011), Pulau Rotoroa di Teluk Hauraki (2015), Semenanjung Tawharanui, Taman Nasional Kahurangi (2018), dan terakhir di Lembah Whakatipu Waimāori (2023).
Sebagai informasi, populasi Takahe sejak dilakukan konservasi meningkat menjadi 500 ekor per tahun 2023. Jumlah ini pun diperkirakan akan terus mengalami pertumbuhan sebesar delapan persen setiap tahunnya.