
Kutai Kartanegara, MEDIASAMARINDA.com – Kasus kekerasan pada perempuan dan anak kian menjadi momok bagi Dinas Kesehatan Kutai Kartanegara. Selain mengalami lonjakan yang cukup serius, tindakan asusila ini juga kerap terjadi di ruang lingkup keluarga. Untuk itu, Kepala Bidang Kesehatan masyarakat (Kesmas) turut menyampaikan tanggapannya saat berada di Kantor Dinkes Kukar pada, Jumat (13/10/2023).
Kasus Kekerasan pada Anak di Kukar Naik Sejak Lima Tahun Terakhir
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kutai Kartanegara belakangan ini tengah menyoroti tingginya kasus kekerasan pada perempuan dan anak di lingkup domestik. Dimana, catatan menyebutkan bahwa kasus kekerasan seksual pada anak di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) mencapai 222 kasus sejak lima tahun terakhir.
Diketahui, data yang bersumber dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kukar tersebut juga telah dikonfirmasi oleh Kepala Bidang Kesehatan masyarakat Kutai Kartanegara, dr. Leni Astuti, MKes, MARS. Dimana, Leni saat itu tengah berada di di Kantor Dinkes Kukar pada, Jumat (13/10/2023).
“Berdasarkan catatan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kukar, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 222 dalam kurun waktu lima tahun. Angka ini cukup besar bagi Kukar,” kata Leni Astuti.
Tak hanya itu, Leni juga membeberkan bahwa kebanyakan dari kasus kekerasan pada perempuan terjadi di lingkungan keluarga. Angka tersebut bahkan terus mengalami peningkatan dan diperkirakan masih banyak kasus di lapangan yang tidak dilaporkan oleh korban.
“Fenomena yang terjadi kemungkinan jauh lebih besar dari angka yang dilaporkan. Karena kebanyakan kasus yang terjadi di ruang lingkup keluarga terdekat,” imbuh Leni.
Perlunya Wadah Pelaporan Khusus Bagi Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak
Menanggapi isu kekerasan yang marak terjadi di Kutai Kartanegara, Kabid Kesmas Leni Astuti turut mengambil tindakan guna menangani fenomena asusila tersebut. Salah satunya, yakni dengan menyiapkan tenaga medis untuk mengikuti pelatihan penanganan pertama pada tindak kekerasan.
Adapun, pelatihan ini diikuti oleh 3 rumah sakit dan 12 puskesmas, yang mana pesertanya merupakan tenaga medis di fasilitas kesehatan (faskes) tersebut. Selain itu, jenis pelatihan yang diikuti juga disesuaikan dengan kasus yang paling banyak dirujuk seperti tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Petugas yang ada di 12 puskesmas itu dilatih, dengan kategori banyaknya kasus yang dirujuk seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak” kata Leni.
Leni menyebutkan gelaran pelatihan ini meliputi kompetisi tatalaksana, screening, dan anestesi awal. Dimana, ketiga kategori tersebut berfungsi untuk melakukan penanganan pada korban kekerasan.
Lebih lanjut, Leni mengungkapkan terkait perlunya wadah khusus sebagai sarana pelaporan bagi para korban kekerasan. Utamanya, untuk menindaklanjuti kasus kekerasan pada perempuan dan anak di wilayah Kutai Kartanegara.
“Harapannya mungkin suatu saat mungkin kabupaten Kutai Kartanegara memiliki suatu wadah untuk tempat pelaporan kasus kekerasan perempuan dan anak” harapnya.
Sebagai informasi, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dibagi menjadi dua jenis, yakni kekerasan verbal dan non-verbal. Kekerasan verbal dapat diartikan sebagai tindakan asusila yang dilakukan tanpa melakukan kekerasan fisik. Namun, dampaknya akan langsung menyerang psikologis ataupun psikis seseorang.
Adapun contoh kekerasan verbal diantaranya bullying, tindakan diskriminatif, catcalling, dan lain sebagainya. Sementara kekerasan non-verbal merupakan tindakan asusila yang dilakukan melalui kontak fisik, seperti memukul, menendang, melecehkan, dan lain-lain.
Meskipun demikian, segala bentuk perilaku kekerasan bukan hanya berdampak pada kondisi fisik korban, melainkan juga mempengaruhi keadaan psikologisnya. Tak jarang pula, korban kekerasan bahkan akan merasa rendah diri, terancam dan merasa putus asa.
Untuk itu, perlu adanya edukasi untuk mengetahui potensi kekerasan sejak dini. Selain mengantisipasi insiden yang tidak diinginkan langkah konkret juga harus diambil oleh instansi pemerintah guna mengatasi persoalan ini. Salah satunya, yakni dengan memberikan wadah pelaporan untuk para korban, khususnya dalam kasus kekerasan pada perempuan dan anak.