SAMARINDA, MEDIASAMARINDA.com – Kepala SMAN 8 Samarinda mengeluhkan sulitnya mengajukan perbaikan sarpras sebab adanya aturan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang harus ditaati. Aturan tersebut mencatat, minimal kerusakan sarana dan prasarana yang harus dipenuhi yakni sebesar 65 persen. Hal ini dianggap menyulitkan apabila kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan tidak bisa diakumulasikan.
Kerusakan Tidak Memenuhi Syarat Perbaikan Sarpras
Jika biasanya sulitnya pengajuan perbaikan sarana dan prasarana (sarpras) terjadi di lokasi-lokasi terpencil, namun hal ini menjadi pengecualian bagi SMAN 8 Samarinda. Pasalnya, sekolah yang dibangun di tengah kawasan perkotaan itu justru mengeluhkan adanya aturan ambang batas yang dikeluarkan oleh Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
Aturan tersebut mencatat, bahwa pengajuan bantuan perbaikan sarpras hanya akan disetujui apabila kerusakan yang terjadi mencapai 65 persen dari total keseluruhan. Sehingga, hal ini dirasa menyulitkan terlebih jika kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan di bawah ambang batas yang telah ditentukan.
Kepala SMAN 8 Samarinda Nurhayati mengaku, bahwa pihaknya mengalami tantangan yang signifikan untuk beradaptasi pada aturan yang dituliskan oleh Dapodik. Dimana, aturan ambang batas kerusakan sebesar 65 persen dinilai menjadi hambatan dalam proses pembangunan di lingkungan pendidikan, apalagi menjadi salah satu kendala untuk mewujudkan sarana dan prasarana yang memadai.
“Persyaratan kerusakan minimal pada fasilitas harus mencapai 65 persen menjadi hambatan utama dalam pengajuan perbaikan Sarpras,” ujarnya.
Salah satu contoh pun disampaikan oleh Nurhayati. Dimana, adanya fenomena kebocoran seng yang menyebabkan plafon menjadi rembes. Pihaknya menyebut bahwa hal tersebut tidak bisa dilakukan sebab kerusakan yang terjadi tidak memenuhi syarat minimal kerusakan.
“Kerusakan kecil di plafon misalnya akibat bocornya seng pada atap yang terbuat dari asbes tidak bisa diperbaiki satu per satu karena harus mengganti banyak bagian yang terkena dampak,” ungkap Nurhayati.
Jumlah Kerusakan Tidak Bisa Diakumulasikan
Aturan tentang batas minimal kerusakan sebesar 65 persen bukan hanya menjadi hambatan dalam proses pembangunan. Melainkan juga menjadi kendala dalam pengajuan perbaikan sarpras.
Sebagaimana diungkapkan oleh Kepala SMAN 8 Samarinda, kerusakan-kerusakan yang bersifat lokal tidak bisa ditindaklanjuti perbaikannya. Begitu pula dengan total kerusakan yang tidak bisa diakumulasikan.
Nurhayati, selaku Kepala SMA Negeri 8 Samarinda menjelaskan bahwa, kerusakan yang terjadi tidak bisa diakumulasikan secara keseluruhan. Hal ini berkaitan dengan poin-poin kerusakan yang berbeda antar masing-masing bidang. Sebab, ada satuan ukur tersendiri dalam menentukan jenis kerusakan yang dapat diperbaiki dan sebaliknya, sebagaimana dituliskan dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
Selain itu, adapula sejumlah sarana dan prasarana yang tidak dapat diperbaiki menggunakan dana bantuan perbaikan sarpras, meliputi lapangan, kantin dan juga pagar. Meskipun demikian, fasilitas-fasilitas tersebut masih bisa diperbaiki menggunakan dana Bantuan Operasional (BOS).
Seolah membawa angin segar dengan menawarkan solusi, penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah sendiri memiliki beberapa hambatan. Salah satunya yakni terkait penggunaannya yang terbatas.
Hal ini diatur dalam ketentuan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Kalimantan Timur yang menuntut penggunaan dana BOS tidak melebihi 30 persen dari total bangunan yang ada. Sehingga, hal ini menuntut pihak sekolah untuk tetap mentaati peraturan yang berlaku.
Lebih lanjut, Nurhayati membeberkan bahwa saat ini pihaknya telah menerima peremajaan sarpras secara berkala. Bantuan tersebut pun meliputi meja, kursi, dan perbaikan atap laboratorium.
“Mebelnya sudah datang walaupun memang gedungnya belum mulai direhab, mungkin masih tunggu anggaran lagi,” ujar Nurhayati.
Meski begitu, Nurhayati tetap menekankan bahwa masih ada kompleksitas dalam pengalokasian dana. Khususnya, karena mempertimbangkan anggaran yang terbatas dan risiko tuduhan yang kerap ditemui di lapangan.
“Kalau salah peruntukan kita juga yang kena, walaupun uangnya tidak kita gunakan, kompleksitas ini memang membuat kami harus mempertimbangkan dengan cermat,” tambah Nurhayati menanggapi sulitnya pengajuan perbaikan sarpras.
(SIK/ADV/DISDIKBUDKALTIM)