Paser, Mediasamarinda.com – Program Transmigrasi, inisiatif yang berlangsung sejak era Orde Baru di Indonesia, kini menghadapi tantangan yang signifikan. Meski berhadapan dengan pembatasan, program ini masih menarik perhatian, terutama dari penduduk di Pulau Jawa. Salah satunya adalah Desa Kerang di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, di mana potensi program ini tampak menggiurkan meskipun ada berbagai hambatan.
Transmigrasi di Kalimantan Timur: Menyelami Peluang dan Tantangan di Desa Kerang
Desa Kerang, dengan kapasitas untuk menampung 200 Kepala Keluarga (KK), saat ini baru terisi 60 KK. Menurut Hasan, Kepala Bidang Transmigrasi Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kalimantan Timur, permintaan untuk pemenuhan lahan transmigrasi di desa ini terus mengalir setiap tahun. Namun, keterbatasan slot yang disediakan oleh Pemerintah Pusat, seperti hanya 120 KK pada tahun 2023, menjadi penghambat utama.
Minat yang tinggi terhadap program transmigrasi ini tidak lepas dari daya tarik utamanya: ketersediaan lahan untuk bercocok tanam, yang menjadi komoditas berharga di beberapa wilayah Indonesia. Hasan menjelaskan, “Setahun itu pun dijamin hidupnya, baru mendapatkan lahan pribadi yang memiliki legalitas.” Ini menggambarkan jaminan hidup dan penghidupan yang diberikan kepada para transmigran.
Para transmigran di Desa Kerang diberikan dua jenis lahan: lahan pekarangan rumah dan lahan untuk tumbuhan keras. Hasan menekankan bahwa dengan kerja keras, kehidupan para transmigran dapat terjamin. Ini berbeda dengan kondisi petani di Pulau Jawa yang seringkali harus menyewa lahan. “Sebenarnya banyak peminatnya dan sangat menjamin asal rajin,” tutup Hasan.
Program transmigrasi ini membuka harapan baru bagi banyak keluarga di Indonesia untuk mendapatkan lahan pertanian yang lebih baik. Meski demikian, tantangan dalam pengalokasian sumber daya dan penyesuaian dengan kebijakan pusat tetap menjadi faktor penting yang harus ditangani dengan bijak untuk memastikan kesuksesan program ini di masa depan.
Transmigrasi ke IKN Dihadang Penolakan AMAN Kaltim Atas Dasar Hak Adat
Rencana pemerintah Indonesia untuk mentransmigrasikan lebih dari 6.000 warga Yogyakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) telah mendapat tantangan keras dari Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Kalimantan Timur. Pada bulan Juni, AMAN Kaltim secara resmi menyatakan penolakan mereka terhadap rencana tersebut, yang menurut mereka, tidak mempertimbangkan hak masyarakat adat yang ada.
Saiduani Nyuk, Ketua AMAN Kaltim, dikenal sebagai Duan, secara terbuka mengekspresikan keprihatinannya terhadap rencana transmigrasi ini pada akhir Juli. Dia mengungkapkan bahwa IKN masih terbelit dalam konflik teritorial, yang melibatkan masyarakat adat lokal. Duan menekankan bahwa rencana pemindahan massal ini tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip masyarakat adat yang selama ini didukung oleh AMAN, yakni pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka.
Salah satu masalah utama yang diangkat Duan adalah potensi konflik terhadap batas wilayah adat di IKN, yang bisa mengancam keberadaan banyak kampung adat. Dia juga khawatir bahwa pemindahan warga Yogyakarta ke IKN akan menambah kompleksitas konflik dan ketidakpastian bagi masyarakat adat yang sudah ada di sana. Pendirian Duan menunjukkan kontradiksi antara rencana transmigrasi dengan kebutuhan untuk menghormati dan melindungi masyarakat adat yang telah lama hidup di tanah tersebut.
Di sisi lain, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki pandangan berbeda. Mereka melihat rencana transmigrasi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama bagi mereka yang berkecimpung di bidang pertanian. Namun, Duan dan AMAN Kaltim berpendapat bahwa langkah ini bisa menimbulkan konflik baru dan mengabaikan potensi masyarakat lokal di Kaltim, yang juga memiliki kemampuan dalam bidang pertanian.
Sebagai respons, Duan menyerukan kepada pemerintah agar memberikan pengakuan dan kesempatan yang sama kepada masyarakat lokal di Kaltim, terutama dalam pengelolaan lahan pertanian. Dia menekankan pentingnya memberikan perlindungan dan kesempatan yang setara kepada masyarakat adat di daerah tersebut.
Konflik ini menunjukkan ketegangan antara kebijakan pemerintah pusat dan kepentingan masyarakat adat, menggarisbawahi pentingnya dialog dan pertimbangan yang lebih mendalam dalam merancang kebijakan transmigrasi yang berkelanjutan dan adil bagi semua pihak yang terlibat.