MEDIASAMARINDA.com – Tindakan saling gugat tak terhindarkan dalam peristiwa kebakaran hutan dan lahan di kawasan wisata Gunung Bromo. Kini dikabarkan empat orang pihak Wedding Organizer (WO) dan sepasang calon pengantin yang melakukan prewedding, melalui kuasa hukumnya menyampaikan akan membuat gugatan terhadap pihak pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) atas dugaan adanya kelalaian keamanan.
Kebakaran Hutan dan Lahan Gunung Bromo, Orientasi Bisnis Pengelola TNBTS Disoroti

Sumber : Surabaya Tribun news
Diketahui bahwa telah terjadi lagi peristiwa kebakaran hutan dan lahan di kawasan objek wisata padang sabana Gunung Bromo yang berlangsung sejak Rabu, 06 September 2023. Kebakaran hutan dan lahan yang diperkirakan meluas hingga sekitar 500 hektare tersebut dikarenakan sesi pemotretan prewedding menggunakan tabung flare gagal dinyalakan hingga percikan apinya membakar rumput kering di padang sabana Bukit Teletubbies Bromo.
Kini akibatnya, objek wisata Gunung Bromo kembali ditutup sampai batas waktu yang belum ditentukan. Selain itu, terdapat banyak kerugian lain seperti lumpuhnya perekonomian warga yang menggantungkan harapan pada wisatawan, beberapa flora khas Gunung Bromo lenyap terbakar, habitat fauna terganggu, ancaman masalah kesehatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bagi masyarakat sekitar, hingga masalah kekurangan air bersih akibat terbakarnya pipa saluran air dari Gunung Bromo ke beberapa desa.
Pihak penyelenggara WO dan pasangan calon pengantin ditemani oleh kuasa hukumnya diinformasikan telah menyampaikan permohonan maaf terhadap tokoh masyarakat Suku Tengger pada Jumat, 15 September 2023 di Kantor Desa Ngadisari, Kec. Sukapura, Kab. Probolinggo, Prov. Jawa Timur. Namun, pada kesempatan tersebut pula mereka menyampaikan niatnya untuk melakukan serangan balik berupa laporan tuntutan terhadap pihak pengelola wisata TNBTS.
Pihak pelaku kebakaran hutan dan lahan di kawasan objek wisata padang sabana Bukit Teletubbies Bromo tersebut merasa kelalaian bukan hanya dilakukan oleh pihaknya, melainkan pihak pengelola wisata TNBTS juga ikut andil dalam kelalaian tersebut. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya peraturan khusus yang diterapkan dan fasilitas umum yang ditujukan untuk melindungi dan mengawasi kawasan objek wisata tersebut.
Pihaknya menilai pengelola wisata TNBTS hanya memikirkan prospek bisnis dalam pengolahan lahan tanpa memperhatikan perangkat dan peraturan keamanan khusus untuk menjaga kawasan objek wisata TNBTS. Pengelola wisata TNBTS dinilai tidak memberikan pelayanan yang maksimal dengan mengabaikan hak dan pengawasan terhadap wisatawan.
Kuasa hukum penyelenggara WO tersebut beranggapan bahwa selama ini pihak pengelola wisata TNBTS hanya menerima uang pembelian karcis lalu memberikan kebebasan kepada wisatawan untuk melakukan apa saja tanpa melakukan pengawasan dan memeriksa barang bawaan wisatawan. Tidak ada peraturan khusus baik tertulis maupun lisan terkait hal-hal apa saja yang boleh-tidak boleh dilakukan dan dibawa pada saat memasuki kawasan wisata TNBTS.
Hal tersebut di atas juga dibenarkan dan merupakan saran dari perangkat desa dan pemangku adat Suku Tengger di desa tersebut.
Gugatan Perdata KLHK Kepada Pelaku Kebakaran Hutan dan Lahan di Gunung Bromo
Dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian sejak pertama kali kebakaran tersebut terjadi, sampai saat ini hanya manajer WO yaitu Andrie Wibowo Eka Wardhana (AW EW), pria berumur 41 tahun asal Kabupaten Lumajang yang ditetapkan sebagai tersangka, sementara pasangan calon pengantin yang merupakan kliennya dan rekan WO lainnya hanya diharuskan melakukan wajib lapor.
Hal ini dikarenakan ide foto prewedding menggunakan flare tersebut merupakan hasil buah pikirannya yang kemudian disetujui oleh pasangan calon pengantin sebagai kliennya. Dengan demikian, AW EW dinilai sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa bencana ini.
Sementara itu, Direktur Jenderal Penegakan Hukum di KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) mengatakan bahwa selain tersangka dikenai hukuman pidana penjara maksimal selama 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar berdasarkan Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, namun juga dapat dijatuhi tuntutan perdata karena telah mengakibatkan dampak yang sangat serius. Dimana gugatan perdata ini merupakan penjatuhan tanggung jawab mutlak terkait peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang merusak ekosistem dan daerah pariwisata.