SAMARINDA, MEDIASAMARINDA.com – Tradisi unik warga Pandeglang telah dilakukan secara turun temurun dan dirayakan setiap dua minggu sebelum Hari Raya Idul Fitri. Biasanya, tradisi ini disebut sebagai ngupat qunutan yang berarti simbol memperingati masuknya doa qunut dalam salat tarawih. Selain itu, tradisi qunut juga menjadi sarana pemersatu bangsa menjelang malam Lailatul Qadar.
Sejarah Tradisi Qunutan
Tradisi Qunutan adalah tradisi membuat ketupat lengkap dengan lauk pendampingnya seperti opor ayam, daging, sayur kentang, dan lain sebagaimana yang dibagikan kepada masyarakat sekitar. Biasanya, tradisi ini dilakukan pada hari ke-15 di Bulan Ramadhan.
Selain mempererat kebersamaan menjelang malam Lailatul Qadar, ngupat qunutan juga menjadi simbol datangnya doa qunut dalam salat tarawih. Tradisi ini bahkan sudah melebur bersama kearifan lokal bagi masyarakat Pandeglang, Provinsi Banten.
Tokoh Agama yang juga sebagai Sekretaris Umum MUI Provinsi Banten, Endang Saeful Anwar mengungkapkan bahwa tradisi unik warga Pandeglang ini sudah ada sejak zaman kesultanan Banten. Tepatnya, pada abad ke-16 sekitar tahun 1651 sampai 1682.
Kala itu, tradisi unik warga Pandeglang ini digunakan sebagai salah satu upaya Kesultanan Banten dalam memantau kondisi ekonomi masyarakatnya menjelang akhir Bulan Ramadhan. Bahkan di beberapa lokasi, perayaan tradisi ngupat tersebut justru lebih meriah dibandingkan Hari Raya Idul Fitrinya sendiri.
“Qunut itu identik dengan ngupat. Di mana menurut sejarah Banten, ngupat ini sudah ada sejak zaman Kesultanan Banten,” ujarnya.
Konon, kata ketupat berasal dari kalimat ‘ngaku lepat’ yang berarti mengakui kesalahan. Artinya, tradisi ini diharapkan mampu menjadi wadah introspeksi diri untuk saling memohon maaf dan memperbaiki kesalahan antar sesama.
“Ada yang mengatakan bahwa kupat itu sebuah singkatan dari ngaku lepat,” ujarnya.
Sementara itu, seorang warga kampung Cimanggu, Lina mengungkapkan bahwa tradisi ngupat sudah menjadi aktivitas turun temurun yang diperingati pada pertengahan Bulan Ramadhan. Bukan hanya dilakukan oleh warga Pandeglang, tradisi ini juga kerap digelar oleh seluruh masyarakat Provinsi Banten.
“Iya sudah jadi tradisi turun temurun, pokoknya setiap hari ke-15 Ramadan itu pasti membuat ketupat atau Qunutan, nanti ngariung di masjid buat dibagi-bagi,” ujar Lina.
Tradisi Unik Warga Pandeglang Jadi Ajang Silturahmi
Sama seperti pembuatan ketupat pada umumnya, proses pembuatan makanan ini juga dilakukan dengan memasukkan butiran beras ke dalam janur yang sudah dibentuk sedemikian rupa. Biasanya, ketupat ini dibuat dengan bentuk belah ketupat dan tali janur di ujung bagian.
Pada proses pengolahan, ketupat direbus sekitar lima jam hingga matang maksimal. Proses perebusannya pun dilakukan secara tradisional yakni dengan tungku api berbahan kayu. Setelah matang, ketupat akan disajikan dengan lauk khas seperti opor ayam dan dibagikan secara merata kepada masyarakat sekitar.
Selain menjadi simbol pengakuan atas kesalahan, tradisi unik warga Pandeglang ini juga menjadi ajang silaturahmi antar sesama sekaligus menjadi gerbang perbaikan diri, penanaman sikap rendah hati, dan saling tolong menolong antar warga.
Di samping itu, terdapat makna lain pula dalam tradisi ngupat. Tokoh Agama sekaligus Sekretaris Umum MUI Provinsi Banten, Endang Saeful Anwar menyebut bahwa kupat memiliki arti ‘laku papat’ yang mana terdiri dari lebaran, luberan, dan leburan.
“Laku papat itu, lebaran, luberan, leburan yaitu makna berakhirnya bulan Ramadan ditandai dengan zakat fitrah,” katanya.
Istilah-istilah tersebut pun diartikan sebagai simbol tolong-menolong, kebersamaan, dan berbagi antar sesama. Menurut Endang, aspek-aspek tersebut sangat berkontribusi bagi persatuan, baik antar masyarakat lokal maupun non lokal.
“Di sana ada saling berbagi, saling tolong menolong, kebersamaan dalam rangka memper erat tali silaturahmi antar warga,” ungkap Endang.
Sementara itu, Endang menyebut bahwa terdapat kuliner lain yang selalu disajikan pula dalam tradisi unik warga Pandeglang. Makanan tersebut pun dinamakan dengan ‘lepet’, yang mana dibuat menggunakan beras ketan dan disajikan berbarengan bersama kupat di sejumlah masjid.
“Masing-masing kupat dan lepet, itu dibawa ke masjid,” pungkasnya.